Bergembira Saat Orang Lain Berbahagia , Kazuo Murakami, Misteri DNA

Bergembira Saat Orang Lain Berbahagia

Ini saya kutip dari bukunya Kazuo Murakami, Misteri DNA, bisa jadi bahan bacaan teman2 semua...




Di Luar Negeri = Orang Tak Beragama Tidak Bisa Dipercaya

Pertemuan pertama manusia dalam kehidupan ini adalah dengan orangtuanya. Hubungan dengan orangtua selanjutnya berpengaruh besar pada kehidupan orang yang bersangkutan. Pertemuan bahagia dengan orangtua belum tentu membawa pada kehidupan yang baik, begitu juga pertemuan buruk dengan orangtua tidak berhubungan dengan kehidupan yang buruk. Namun, pertemuan dengan orangtua sedikit banyak pasti meninggalkan jejak pada kehidupan seseorang. Saya merasa hal ini tampak pada sikap dan cara berpikir saya sebagai peneliti.
Pemeluk Yahudi mengajarkan agama Yahudi kepada anak-anak-nya sejak masih kecil, berusaha menjadikannya kompas kehidupan dan fondasi hidup. Orangtua saya pun mengajarkan agama yang mereka yakini kepada saya sejak saya duduk di bangku sekolah dasar. Berkat mereka, saya tumbuh dalam lingkungan bernuansa religius melebihi rumah tangga keluarga Jepang pada umumnya.
Tanpa mengalami keterpaksaan mengikuti ritual keagamaan, saya lalu menyusuri jalan sebagai ilmuwan. Dalam kehidupan saya setelah itu, saya merasa didampingi oleh Tuhan yang diajarkan kepada saya waktu kecil. Jika ditanya apakah itu baik atau buruk, saya harus menjawab "baik". Oleh sebab itu, pada bab terakhir buku ini saya ingin menuturkan bagaimana hubungan dengan agama menguntungkan bagi kehidupan saya.

Saat saya pergi ke luar Jepang dan bekerja sama dengan peneliti dari negara lain, saya sungguh merasakan bahwa Jepang adalah wilayah yang vakum dari agama. llmuwan Jepang banyak yang meyakini agama, namun keyakinan itu tidak banyak muncul dalam pekerjaan mereka. Di Jepang, apabila ilmuwan menyebut-nyebut Tuhan atau Buddha akan digosipi "orang ini sebentar lagi tamat riwayatnya", "orang fanatik", dan sebagainya.
Dengan kata lain, di Jepang, perbuatan mengungkit agama dalam kehidupan sehari-hari dinilai "tindakan yang tidak pantas bagi seorang ilmuwan". Jika seseorang melakukannya akan dikomentari tidak ilmiah. Ini wajar saja karena ilmu sains Barat yang kami geluti memisahkan dengan tegas sains dan agama, dan berkembang dengan dilandasi kesepakatan tersirat bahwa "di sini kita tidak membicarakan wilayah ketuhanan".
Tetapi, ilmu sains Barat baru mengabaikan Tuhan sejak memasuki era modern, sedangkan sebelum itu sains dan Tuhan saling berlekatan. Semua perguruan tinggi di Eropa yang memiliki sejarah 600-800 tahun dimulai dari ilmu teologi. Perguruan tinggi masa itu mulai mengeksplorasi sains karena dengan mengungkap misteri dan terjadinya alam, akan terbaca betapa luar biasa ciptaan dan kekuasaan Tuhan, sehingga berlanjut pada ajakan untuk memanjatkan puji syukur kepada Tuhan.
Buktinya, Isaac Newton yang membuka gerbang ilmu fisika modern juga seorang peneliti teologi dan filsafat. Charles Darwin sang pencetus Teori Evolusi juga mempelajari teologi sebelum mendalami sejarah alam. Meskipun saya tidak menyelidiki secara mendalam, selain mereka, para ilmuwan yang memperoleh pencapaian gemilang juga mendalami ilmu agama. Dengan mendalami ilmu agama niscaya agama berpengaruh kuat pada orang yang bersangkutan. Konon Newton tidak senang disebut ilmuwan, dan menampiknya dengan menyebut dirinya filsuf.
Orang Jepang menerima ilmu sains Barat setelah agama dan sains dipisahkan secara tegas. Oleh karena itu, tidak ada jejak ilmu ketuhanan pada sains. Agama diasumsikan sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali dengan sains. ltulah sebabnya saya sama sekali tidak membawa-bawa urusan agama ke dalam pekerjaan kendati sejak kecil mendapat didikan ajaran Buddha dan Shinto. Saya pun memandang sinis orang yang menyebut-nyebut Tuhan dalam pekerjaan terkait sains. Tetapi saat saya berada di luar Jepang, ternyata keadaannya berbeda. Ditilik dari pandangan tentang agama, orang luar negeri sangat berbeda dengan Jepang. Misalnya jika ditanya, "Anda beragama apa?" Di Jepang tidak ada orang yang keheranan jika kita menjawab,
"Saya tidak meyakini agama tertentu. Saya tidak beragama." Malahan lawan bicara kita merasa tenang karena dia berpikir, "Untunglah orang ini bukan orang yang percaya agama aneh" Sebaliknya jika kita berada di luar negeri dan mengatakan, "Saya tidak beragama,"orang lain akan keheranan. Orang luar negeri tidak begitu mempermasalahkan agama apa yang kita peluk, tetapi kalau kita menyatakan tidak meyakini agama apa pun, bisa-bisa kita dianggap sebagai "orang yang tidak bisa dipercaya". itu karena "tidak beragama" diterjemahkan sebagai tidak punya pegangan sebagai manusia.
Artinya dalam masyarakat Eropa dan Amerika, ada karakter religius yang tidak terbayangkan di Jepang, yang melatari pola pikir dan tindakan manusia. Masyarakat Amerika tidak menolerir kebohongan karena perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Tuhan "tidak boleh berbohong".

Sikap ilmuwan Amerika terhadap agama? Karena ada ketentuan untuk tidak menginjak wilayah Tuhan pada sains modern, mereka pun tidak membawa-bawa agama ke ranah penelitian, juga tidak menuliskannya dalam makalah. Tetapi pengaruh agama yang mereka anut tercermin dalam cara hidup dan pola pikir mereka.


Murakami K. 2013. Misteri DNA, Cetakan 1. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Komentar

Postingan Populer