Variabel Penelitian
VARIABEL PENELITIAN DAN OPERASIONALISASI HIPOTESIS
VARIABEL
PENELITIAN
A. Defenisi
Variabel adalah suatu ukuran atau ciri
yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda
dengan yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Rafii, 1985). Dalam riset variabel
dikarakteristikkan sebagai derajat, jumlah dan perbedaan. Variabel adalah juga
merupakan konsep dari berbagai level dari abstrak yang didefenisikan sebagai
suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi suatu penelitian. Konsep
yang dituju dalam suatu penelitian dapat konkret dan secara lansung bisa
diukur, misalnya denyut jantung, hemoglobin, dan pernapasan tiap menit. Sesuatu
yang konkret tersebut bisa diartikan sebagai suatu variabel dalam penelitian.
Konsep lain seperti cemas, kebutuhan psikologi dan nyeri adalah sesuatu yang
abstrak dan secara tidak lansung dapat diobservasi. Contoh berikut ini
menggambarkan hubungan konsep dengan variabel:
Konsep:
Variabel:
Kapasitas reproduksi organisme Fetilitas
Fekunditas
Kemudahan organisme terkena penyakit Suseptibilitas
Imunitas
Kerentanan
Kemampuan kontraksi otot Derjat kontraksi
Kekuatan kontraksi
Ketahanan kontraksi
B. Tipe Variabel
Tipe variabel diklasifikasikan menjadi
macam-macam tipe untuk menjelaskan penggunaannya dalam riset. Beberapa variabel
dimanipulasi, yang lainnya sebagai kontrol. Beberapa variabel diidentifikasi
tetapi tidak diukur dan yang lainnya diukur dengan pengukuran sebagian.
Macam-macam tipe variabel meliputi:
1.
Independent
variabel
Suatu stimulus aktifitas yang
dimanipulasi oleh peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada dependent
variabel. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur untuk diketahui
hubungannya (pengaruhnya) dengan variabel lain. Dalam ilmu keperawatan,
variabel bebas biasanya merupakan stimulus atau intervensi keperawatan yang
diberikan kepada klien untuk mempengaruhi tingkah laku.
2.
Dependent
variabel
Variabel terikat (dependen) adalah
variabel respon atau output. Sebagai variabel respon berarti variabel ini akan
muncul sebagai akibat dari manipulasi suatu variabel independen. Dalam ilmu
tingkah laku, variabel terikat adalah aspek tingkah laku yang diamati dari
suatu organisme yang dikenai stimulus. Dengan kata lain, variabel terikat
adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya dari
variabel bebas.
3.
Variabel
moderator
Variabel moderator (seringkali disebut
sebagai variabel bebas kedua) adalah variabel yang diangkat untuk menentukan
apakah ia mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Dengan kata lain, variabel moderator faktor yang diukur, dimanipulasi atau
dipilih peneliti untuk mengungkapkan apakah
faktor tersebut mengubah hubungan antara variabel bebas dan terikat.
Jika peneliti ingin mempelajari pengaruh variabel bebas X terhadap variabel
terikat Y tetapi ragu-ragu apakah hubungan X dan Y tersebut berubah karena
variabel Z, maka Z dapat dianalisis sebagai variabel moderator. Misal: peneliti
ingin meneliti efektifitas penyuluhan kesehatan dengan metode visual dan audio
kapada klien terhadap pengetahuan pengobatan yang diberikan. Lebih lanjut
peneliti tersebut curiga bahwa ada klien tertentu yang lebih cocok dengan
metode visual sedang klien lainnya lebih cocok dengan metode audio. Jika klien
yang cocok dengan metode visual dan audio dipisahkan, kemudian dianalisa
sendiri-sendiri maka perbedaan pengetahuan pengobatan kelompok metode visual
dan kelompok metode audio akan terlihat nyata. Dalam hal ini karakteristik
klien (kecocokan metode) merupakan variabel moderator terhadap hubungan antara
variabel bebas (metode visual dan audio) dan variabel terikat (pengetahuan
pengobatan).
4.
Variabel
kontrol
Tidak semua variabel didalam suatu
penelitian dapat dipelajari sekaligus dalam waktu yang sama. Beberapa diantara
variabel tersebut harus dinetralkan pengaruhnya untuk menjamin agar variabel
tersebut tidak mengganggu hubungan antara variabel bebas dan terikat. Variabel-
variabel yang harus dinetralkan atau dikontrol tersebut disebut
variabel-variabel kontrol. Jadi variabel kontrol adalah faktor-faktor yang
dikontrol atau dinetralkan pengaruhnya oleh peneliti karena jika tidak demikian
diduga ikut mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan terikat. Variabel
kontrol berbeda dengan variabel moderator. Penetapan suatu variabel menjadi
suatu variabel moderator adalah untuk dipelajari (dianalisis) pengaruhnya,
sedangkan penetapan suatu variabel menjadi variabel kontrol adalah untuk
dinetralkan/disamakan pengaruhnya. Misalnya: pada penelitian terntang pengaruh
senam nifas ibu pasca salin terhadap involusi uteri, maka faktor usia dan
paritas bisa dianggap variabel kontrol. Pengontrolan dapat dilakukan dengan
membatasi sampel pada ibu-ibu pasca salin dengan paritas satu dan usia 20-30
tahun.
5.
Variabel perancu
Variabel perancu adalah jenis variabel
yang berhubungan (asosiasi) dengan variabel bebas dan berhubungan dengan
variabel tergantung, tetapi bukan merupakan variabel antara. Identifikasi
variabel perancu ini amat penting, karena bila tidak ia dapat membawa kita pada
kesimpulan yang salah, misalnya ditemukan terdapat hubungan antara variabel
padahal sebenarnya tidak ada atau sebaliknya, tidak ditemukan hubungan antara
variabel padahal hubungan itu ada. Misalnya dalam contoh penelitian medis
(dikutip dari Sastroasmoro dan Ismail, 1995): peneliti ingin mencari hubungan
antara kebiasaan minum kopi dan kejadian penyakit jantung koroner. Dalam hal
ini variabel bebasnya adalah kebiasaan minum kopi dan variabel tergantungnya
adalah insiden PJK. Kebiasaan merokok dapat merupakan variabel perancu, oleh
karena ia berhubungan dengan kebiasaan minum kopi (bebas) dan berhubungan pula
dengan kejadian penyakit jantung (variabel tergantung).
C.
Pengukuran Variabel
Pengukuran variabel dikelompokkan
menjadi 4 skala pengukuran yakni:
1.
Skala
minimal, adalah suatu himpunan
yang terdiri dari anggota-anggota yang mempunyai kesamaan tiap anggotanya, dan
memiliki perbedaan dari anggota himpunan yang lain. Misalnya, jenis kelamin
dibedakan antara laki-laki dan perempuan, dan pekerjaan dapat dibedakan petani,
pegawai, dan pedagang. Pada skala nominal, kita menghitung banyaknya subjek
dari setiap kategori gejala, misalnya jumlah pria dan wanita, masing-masing
sekian orang, jumlah pegawai dan bukan pegawai sekian orang, dan sebagainya.
Masing-masing anggota himpunan tersebut tidak ada perbedaan nilai.
2.
Skala
ordinal, adalah himpunan yang
beranggotakan menurut rangking, urutan, pangkat, atau jabatan. Dalam skala
ordinal tiap himpunan tidak hanya dikategorikan pada persamaan atau perbedaan
dengan himpunan yang lain, tetapi juga berangkat dari pernyataan lebih besar
atau lebih kecil. Misalnya, variabel pendidikan dikategorikan SD, SLP, SLA,
variabel pendapatan dikategorikan tinggi, sedang, rendah, variabel umur
dikategorikan anak-anak, muda dan tua, dsb.
3.
Skala
interval, seperti pada skala
ordinal, tetapi himpunan tersebut dapat memberikan nilai interval atau jarak
antara urutan kelas yang bersangkutan. Kelebihan dari skala ini adalah bahwa
jarak nomor yang sama menunjukkan juga jarak yang sama dari sifat yang diukur.
Contoh tentang skala pengukuran suhu dengan farhenheit dan celcius, dimana
masing-masing mempunyai aturan skala yang berbeda letak dan jaraknya, meskipun
masing-masing memulainya dari nol.
4.
Skala
ratio, adalah variabel yang
mempunyai perbandingan yang sama, lebih besar atau lebih kecil. Variabel
seperti panjang, berat, dan angka agregasi adalah variabel rasio misalnya,
apabila sekarung beras beratnya 1 kwintal, maka 5 karung beras beratnya 5
kwintal.
OPERASIONALISASI
HIPOTESIS
Operasionalisasi hipotesis
mengandung pengertian yaitu
mendeduksikan hipotesis sehingga memungkinkan untuk dilakukan observasi empirik
dalam rangka pembuktian kebenarannya. Operasionalisasi hipotesis dilakukan
dengan melalui dua tahapan, yaitu:
1.
Mendeduksikan suatu hipotesis menjadi
hipotesis (hipotesis-hipotesis) yang lebih operasional sifatnya.
2.
Mengidentifikasi dan merumuskan variabel
penelitian dalam defenisi operasional, yaitu memberikan pengartian pada
variabel sehingga dapat diobservasi atau diukur (measurable).
Dalam praktek, seorang peneliti tidak mesti menempuh langkah pertama,
kadang-kadang dari hipotesis kerja dapat lansung ditempuh langkah kedua.
Berikut ini diberikan contoh bagaimana suatu hipotesis dideduksikan dalam
konsekuensi yang lebih operasional.
a)
“Aktifitas fisik yang teratur akan
menaikkan kapasitas kerja buruh”.
(b) dan (c)
b)
“Latihan otot yang teratur akan
menaikkan kekuatan dan ketahanan kontraksi otot”.
c)
“Senam kesegaran jasmani tiap hari akan
menaikkan kemampuan jantung dan paru-paru”.
d)
“Senam kesegaran jasmani tiap hari akan
menaikkan curah jantung dan kapasitas paru”.
Dari
contoh diatas, terlihat bahwa dari satu hipotesis kerja (a), dapat diurai
menjadi dua buah hipotesis yang operasional, yaitu hipotesis (b) dan (d),
sementara hipotesis (c) tidak terpakai karena dapat dilebih operasionalkan lagi
menjadi hipotesis (d).
DEFENISI
OPERASIONAL VARIABEL
Variabel yang telah didefenisikan perlu didefenisikan secara operasional,
sebab setiap istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang
yang berlainan. Penelitian adalah proses komunikasi dan komunikasi memerlukan
akurasi bahasa agar tidak menimbulkan perbedaan pengertian antar orang dan agar
orang lain dapat mengulangi penelitian tersebut. Jadi defenisi operasional
dirumuskan untuk kepentingan akurasi, komunikasi dan replikasi. Mendefenisikan
variabel secara operasional ialah memberikan (mendeskripsikan) variabel
penelitian sedemikian rupa sehingga bersifat :
1.
Spesifik (tidak berinterpretasi ganda),
2.
Terukur (observable atau measurable).
Sebagai contoh misalnya, kalau terhadap variabel “kemampuan kontraksi otot”
hanya kita defenisikan sebagai kemampuan otot melakukan kontraksi saja, maka
defenisi itu tidak operasioanl. Defenisi ini tidak spesifik karena tidak
dijelaskan aspek mana dari kemampuan kontraksi itu (apa kekuatan, ketahanan,
atau derajat kontraksi) yang dimaksudkan. Karena ketidakspesifikan tersebut
maka variabel juga tidak dapat diukur dengan pasti.
Sebelum dijelaskan bagaimana
mendefenisikan variabel secara operasional, kiranya perlu diingatkan
bahwa defenisi operasional ini akan membawa konsekuensi yang tidak kecil, yaitu
pada metode dan alat ukur yang akan dipilih. Oleh karenanya, kecermatan
mendefenisikan variabel perlu diperhatikan betul oleh peneliti. Ukuran
kecermatan disini bukan sekedar sesuai dengan apa yang pernah didefenisikan
oleh peneliti lain melainkan lebih “berkiblat” pada landasan teori dan
permasalahan penelitian yang dihadapi. Pengertian “stasus gizi” misalnya, pada
suatu penelitian lebih tepat didekati secara antropometrik, namun pada
penelitian ini lebih tepat didekati dengan pemerikasaan kimiawi darah.
Sering terjadi, seorang peneliti muda karena begitu percaya pada laporan
penelitian seseorang, tanpa mempelajari keserupaan landasan teoritik atau
masalahnya, lansung mengambil defenisi operasional yang pernah dirumuskan
peneliti lain yang ternyata tidak tepat untuk penelitiannya. Sebaliknya sering
timbul keraguan (ketakutan) bila mereka diminta mendefenisikan variabel
sendiri, padahal misalnyabelum ada atau tidak ada defenisi yang tepat untuk
variabel yang mereka teliti.
Komentar
Posting Komentar